Sabtu, 01 Oktober 2011


Peran Orang Tua sebagai Guru Pertama dalam Pendidikan Anak

09/28/2011
Jakarta -- Tony Buzan hadir menjadi pembicara  Seminar “How Smart Parents Make Smart Kids”.
Seminar tersebut diselenggarakan Yayasan Pendidikan Qolbun Salim, Buzan Indonesia dan Kementerian Pendidikan Nasional. Acara yang bertempat di Auditorium Kemdiknas tersebut, dihadiri banyak pengamat pendidikan dan dibuka oleh Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Minggu (25/09).
Tony ,seorang pendidik dan penemu metode berpikir dengan menggunakan skema mind mapping yang tersohor tersebut, yang tahun ini dinominasikan untuk meraih  nobel karena jasanya dalam mengembangkan pendidikan global dan kemanusiaan ini menyampaikan, setiap orang tua adalah guru pertama dan terpenting yang ditemui oleh setiap anak ketika lahir di dunia. Peran orang tua tersebut tentu tidaklah mudah, karena mereka haruslah mampu melihat dan kemudian memfasilitasi segala bakat yang dimiliki seorang anak.
Hal senada diungkapkan Fasli. Dia menilai, keluarga merupakan gerbang pertama tempat bakat seorang anak harus ditemukan dan difasilitasi. “Kita memiliki 53 Juta keluarga, bayangkan apabila 53 juta keluarga ini memiliki satu anggotanya saja, baik ayah, ibu, kakak atau adik yang mengerti dengan apa yang disampaikan Tony ini, maka anak Indonesia akan menjadi generasi memiliki daya saing “ sahut Fasli.
Peranan yang sama pun diemban oleh guru. Fasli mengungkapkan bahwasanya hingga saat ini tercatat  tidak kurang dari 240 ribu guru TK, lebih dari 200 ribu guru PAUD nonformal dan termasuk 1,5 Juta guru SD yang memiliki tanggung jawab besar menemukan bakat, dan minat peserta didiknya di sekolah.
Fasli menjelaskan, tugas para pendidik ini adalah dapat memastikan, bahwa apa saja yang peserta didik dapat di rumah, para pendidik dapat terus memastikan untuk memberikan peluang, kesempatan dan kasih sayang terhadap segala bakat yang dimiliki oleh para peserta didik. “Bila ini terjadi, setiap kali kita melakukan kontak dengan mereka, kita akan menemukan harapan dan rasa percaya diri bahwa peserta didik inilah yang akan membangun bangsanya kelak.”
Adapun Tony mendefinisikan arti dari sebuah profesi guru  sebagai, “seorang pribadi yang bertanggung jawab dalam menggali, menemukan dan memfasilitasi bakat sang anak.“
Tony pun kemudian menyadarkan para peserta tentang begitu beragamnya kecerdasan anak. Segala kecerdasan yang dimiliki sang anak tentu berbeda-beda dan tidak pernah sama. Tidak pernah ada kecerdasan yang dinilai mutlak. Tony pun kemudian mempertanyakan arti dari pemberian label cerdas pada seorang anak. “Apakah arti cerdas itu sendiri?” kata  pria yang tercatat dua kali menjadi editor MENSA, sebuah perkumpulan untuk individu yang memiliki IQ (intelegensia quotient) tertinggi di dunia.
Kemudian,Tony pun menyoroti banyaknya guru yang melakukan penghakiman atau pelabelan pada muridnya. Menurut pria yang tercatat memiliki creativity quotient (CQ), tidak ada seorang pun yang berhak melakukan segala pelabelan tersebut, “Siapa yang memiliki hak untuk menyatakan bahwa anda tidaklah cerdas dan anda cerdas, dan siapa yang juga berhak mengatakan bahwa anak tidak berbakat menjadi seorang ilmuwan dan teman Anda memiliki bakat tersebut?. Jawaban saya adalah tidak ada seorang pun yang berhak melakukan itu kepada Anda. Riset saya bertahun-tahun, mengonfirmasi bahwa semua anak jenius. Mereka hanya menunggu untuk kita menemukan kejeniusan mereka, dan ini adalah tanggung jawab dari seorang guru dan orang tua. Tugas keduanya adalah pekerjaan paling penting di dunia,” katanya memaparkan.
Fasli mengakui tidak sedikit para pendidik bahkan orang tua yang sering memberikan pengklasifikasian kepada peserta didik atau anak mereka. “Ini sebetulnya persoalan yang sangat mendasar, jelas sekali betapa kita dapat dengan mudah dan cepat mengklasifikasikan anak-anak kita, ini anak nakal dan itu anak malas, siapa yang berhak menentukan itu semua?” ( Budi. E.S. )

Jumat, 20 Mei 2011

Guru dan Makna Profesionalisme

Oemar Bakri... Oemar Bakri... pegawai negeri Oemar Bakri... Oemar Bakri... 40 tahun mengabdi Jadi guru jujur berbakti memang makan hati Oemar Bakri... Oemar Bakri... banyak ciptakan menteri Oemar Bakri... profesor dokter insinyur pun jadi Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Itulah sepenggal lirik lagu "Oemar Bakri" yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh musisi legendaris Iwan Fals pada tahun 1980-an. Lagu tersebut bercerita tentang seorang guru tua nan miskin bernama Oemar Bakri

Ia sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya untuk dunia pendidikan dan telah membidani lahirnya para pejabat negeri ini. Namun, apa yang dilakukan ternyata tidak berbanding lurus dengan apa yang didapatkan. Begitulah kira-kira tafsir sederhana saya terhadap lagu tersebut. Ada dua hal yang menarik untuk kita cermati dari lagu "Oemar Bakri" itu. Pertama, Iwan Fals ingin memberikan gambaran obyektif tentang profesi guru saat itu. Guru merupakan profesi yang tidak elite, tidak bonafide, bergaji pas-pasan, dan tidak ada ruang untuk kemajuan. Gambaran Iwan Fals tentang kondisi guru mewakili anggapan dominan banyak orang saat itu. Tidak mengherankan, jarang ditemukan anak bercita-cita menjadi guru. Ketika anak-anak ditanya apa cita-citanya, jawaban mereka sudah bisa ditebak: ingin menjadi dokter, insinyur, pilot, presiden, dan sebagainya. Jarang sekali anak menjawab ingin menjadi guru.

Kedua, sang musisi ingin menyentil pemerintah yang saat itu kurang peduli terhadap pendidikan, khususnya nasib guru. Kita akan selalu ingat salah satu stigma Orde Baru yang sangat menghegemoni, yaitu guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Perkataan itu meninabobokan para guru untuk betah hidup dalam ketidaksejahteraan. Perkataan tersebut memaksa mereka puas dengan apa yang selama ini didapatkan.

Perlakuan dan penghargaan terhadap guru di Indonesia berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Jepang. Setelah Hiroshima dan Nagasaki rata dengan tanah akibat dibom sekutu, hal pertama yang ditanyakan kaisar kepada perdana menterinya adalah berapa guru yang masih hidup. Sang kaisar pun meminta guru-guru yang tersisa untuk dijaga, dipelihara, diberi makan cukup, dan diberi kesejahteraan yang memadai karena sang kaisar beranggapan bahwa guru adalah pijakan arah bangsa. Dari dulu hingga sekarang posisi guru di Jepang amat terhormat. Tidak mengherankan, negara itu maju pesat karena menjadikan guru sebagai arah pijakan bangsa.

Sekarang kondisi guru yang dulu memprihatinkan mulai sedikit berubah. Perhatian pemerintah terhadap pendidikan, khususnya guru, mulai tampak, misalnya dengan lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen pada 2005. Undang-undang itu bertujuan meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru melalui program sertifikasi walaupun pada akhirnya tidak sedikit guru yang terjebak pada penafsiran keliru terhadap profesionalisme dengan pemberian sejumlah uang dalam kurun waktu tertentu.

Penafsiran keliru tersebut dapat menjerumuskan para guru pada pengerdilan akan makna profesionalisme, bahkan membunuh mentalitas untuk mengabdi dan melayani secara tulus. Dalam pendidikan kita, antara profesionalisme dan apresiasi kerja telah rancu. Celakanya, profesionalisme telah dijadikan sama dengan apresiasi kerja, yakni pemberian penghargaan kepada guru yang lulus uji sertifikasi dengan sejumlah uang sebagai tanda bahwa ia telah menjadi guru profesional.

Hargai pilihan profesi

Terlepas dari pro dan kontra tentang munculnya program sertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru, usaha itu perlu kita apresiasi dengan berusaha meningkatkan kompetensi dan kinerja sehingga bisa memberikan layanan pendidikan terbaik terhadap anak didik. Usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru akan menjadi absurd seandainya guru, baik sebagai pribadi maupun komunitas, tidak melakukan perbaikan dari dalam diri.

Salah satu cara meningkatkan kompetensi adalah guru keinginan untuk terus belajar setiap waktu. Guru belajar memahami kondisi anak yang beragam untuk kemudian mencari metode pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan gaya belajar anak. Jadi, keragaman anak sebagai kodrat bisa terakomodasi dan terfasilitasi. Guru yang tidak mau belajar mengikuti perkembangan anak dan metode pembelajaran kontemporer merupakan lonceng kematian bagi dunia pendidikan.

Menjadi guru bukan sekadar rutinitas harian yang nyaris tanpa daya kejut, yaitu berangkat pagi pulang siang atau sore dan seterusnya atau datang ke sekolah, mengajar, memberikan ulangan, koreksi, remidi, membagikan hasil ulangan, dan seterusnya. Melakukan hal yang sama tetapi mengharapkan perubahan adalah kekonyolan dalam proses pendidikan.

Cara pandang yang lebih positif terhadap profesi yang sedang digeluti merupakan keniscayaan. Bagaimana mungkin orang akan menghargai profesi guru kalau guru sendiri tidak menghargainya? Kita semua tahu bahwa sikap dan cara pandang positif bisa berpengaruh besar terhadap kesuksesan dan kebahagiaan hidup seseorang.

Menurut William James, kita bisa mengubah seluruh hidup kita hanya dengan mengubah sikap dan cara pandang kita. Separah apa pun gambaran dan persepsi orang tentang guru, tetapi kalau sikap dan cara pandang guru selalu positif, mereka akan menjalani profesi tersebut dengan penuh kebahagiaan.

Saya teringat Thomas Edison yang mengalami seribu kali kegagalan dalam membuat bola lampu. Suatu hari, Edison ditanya seorang wartawan, "Tuan Edison, bagaimana rasanya gagal berkali-kali?" Dengan tenang Edison menjawab, "Seribu kali kegagalan saya dalam membuat bola lampu membuat saya tahu seribu cara yang tidak bisa dipakai untuk membuat bola lampu." Edison adalah satu dari sedikit orang yang senantiasa menjaga sikap dan cara pandang positifnya dalam melihat sesuatu. ( sumber : Kompas.com )

Jangan Curigai Kurikulum Pendidikan Islam

Jangan mencurigai kurikulum di lembaga Islam karena materinya sudah sangat baik, kata Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Muhammad Ali di Surabaya, Senin.

Seluruh materi yang disusun dan dimasukkan sebagai kurikulum pada lembaga Islam sudah sejalan dengan pembangunan karakter bangsa. Tidak ada yang menyimpang dari prinsip ajaran agama yang membawa kedamaian bagi seluruh umat.

Muhammad Ali menyatakan itu di sela kunjungan kerjanya di Surabaya. Di kota itu Dirjen Pendis memantau jalannya pelaksanaan Ujian Nasional (UN).

Jadi, jangan mencurigai kurikulum yang sudah disusun bermuatan ajaran kekerasan. Apalagi radikalisme yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang rahmatun lil alamin, katanya.

Dirjen Pendis Muhammad Ali mengaku merasa penting memberi penegasan mengenai hal ini terkait adanya penilaian dari pemerhati pendidikan asing.

Kalangan asing, kata Ali, menyebut jika ada tindakan kekerasan pihaknya dituding memasukan muatan ajaran kekerasan dalam kurikulum pendidikan Islam.

Ia mengakui belakangan ini ada pemberitaan di media massa yang menyebut alumni dari perguruan tinggi Islam terlibat dalam aksi teror, melakukan tindakan kekerasan dan mampu merakit bom.

Orang tersebut lalu dikaitkan dengan latarbelakang pendidikannya. Kemudian diberi lebel yang bersangkutan berasal dari lembaga pendidikan Islam. Pandangan dan pemberian lebel seperti itu, menurut Dirjen Pendis, sungguh kejam.

Sebab, perguruan tinggi Islam termasuk lembaga pendidikan di bawahnya tak pernah memasukan materi ajaran kekerasan dalam kurikulum. Karena itu ia berharap semua pihak dapat memberi pencerahan kepada publik bahwa pendidikan Islam yang diajarkan di Indonesia adalah pembawa kedamaian bagi seluruh umat.

Ia berharap berita penculikan dan pencucian otak yang dilakukan di luar kegiatan kampus tidak dikaitkan dengan eksistensi perguruan tinggi Islam, termasuk lembaga pendidikan Islam lainnya.

Pihak kampus sudah memberikan materi pembelajaran yang terbaik bagi anak didik. Karenanya, menurut Muhammad Ali, jangan menilai bahwa peristiwa cuci otak dan radikalisme lalu dikaitkan dengan kurikulum sekolah atau perguruan tinggi Islam.

Ia berharap bagi pihak-pihak yang menaruh curiga bahwa kurikulum di institusi pendidikan Islam tak sesusi dengan asas kedamaian hendaknya dapat mengunjungi lembaga bersangkutan.

"Kita terbuka saja. Semua bisa melihat sebagaimana adanya," kata Dirjen Pendis Muhammad Ali.

( Diposting oleh : Budi.ES. sumber : Antaranews.com )

UN Dapat Dibubarkan Jika Melanggar Hak Anak

Ujian nasional (UN) sebagai tolak ukur kelulusan siswa harus mampu manampung hak-hak anak, jika tidak UN bisa dibubarkan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengklasifikasi hak anak itu adalah hak melanjutkan proses belajar ke jenjang yang lebih tinggi.

Menurut Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Jhony Nelson Simanjuntak, penilaian UN harus dilakukan secara menyeluruh sejak awal sekolah.

"Pelaksanaan evaluasi harus bertumpu pada prestasi anak mulai dari kelas 1 sampai 6 untuk SD, kalau SMP dari kelas 7 sampai 9, kalau SMA 10 sampai 12. Jadi kita menilai apakah ujian nasional justru mengurangi atau mencabut hak-hak peserta didik ke jenjang yang lebih tinggi atau tidak." katanya kepada www.today.co.id di Jakarta, Minggu (24/4/2011).

Ia menjelaskan, Komnas HAM tidak akan mencampuri sistem UN yang diterapkan Kemendiknas. Pihaknya akan fokus dan berkonsentrasi kepada hak-hak pendidikan anak. Jika kecurangan UN yang ditemukan di lapangan bisa mencabut hak-hak anak, maka UN bisa dicabut.

"Kita tidak menilai proses dari UN, misalnya bagaimana materi dan bobot, karena itu area Kementerian Pendidikan. Komnas HAM hanya berkonsentrasi kepada hak-hak pendidikan anak," tandasnya.

Sebelumnya, Komnas HAM akan turun gunung untuk mengawal pelaksanaan UN 2011. Langkah ini berdasarkan putusan hasil sidang paripurna DPR yang meminta Komnas HAM mengawal UN.

"Pada praktek UN tahun lalu kita menemukan beberapa persoalan, yakni beberapa siswa telah terganggu secara psikologis. Kedua, praktek pemrotes-pemrotes UN mendapat kekerasan di beberapa tempat bahkan diancam untuk keluar," ungkapnya saat ditemu www.today.co.id di Gedung Komnas HAM.

( Diposting Oleh : Budi.ES. sumber :www.today.co.id )

Kamis, 19 Mei 2011

Membuka Tabir Kebenaran

Ada ungkapan di Jerman yang menyatakan, "Gunakan uang yang banyak untuk riset, maka riset akan memberimu uang banyak." Di sini penulis meminta ijin untuk sedikit mengubah kalimat di atas, namun sedikit banyak maknanya tidaklah berbeda. "Menulislah yang banyak, maka tulisan akan memberimu uang banyak."

Kalimat tersebut bagi sebagian masyarakat masih diragukan. Pasalnya, masyarakat masih cekak dalam mendefiniskan arti kata pekerjaan. Pekerjaan versi masyarakat, yakni aktivitas yang memiliki mobilitas tinggi. Berangkat pagi, pulang sore. Ada kantor yang representatif, bila perlu di tempat strategis. Bahkan saking cekaknya nalar, ada yang berpaham, pekerjaan itu tidak lepas dari peras keringat dan banting tulang. Cerdas 'okol' tetapi jauh dari akal.

Maka tidak heran jika di sekitar kita, remaja atau jenjang usia di atasnya yang memahami bahwa pekerjaan itu identik dengan aktivitas otot dan keringat semata, mempercepat usia kerutan wajah. Bahasa prokem menamainya, wajah bermutu alias bermuka tua. Walau apapun pekerjaan asal diniati dengan ikhlas dan memiliki kredibilitas positif, dalam arti halal, tidak menjadi soal.

Tetapi bagaimana jika saya menyebut profesi menulis menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan? Menulis itu mudah jika disenangi, ditelateni, dan dipraktikan. Apapun tulisan itu. Dan seorang penulis harus membaca, apapun. Ada anak kecil yang pernah penulis tanya kenapa membawa buku ketika (maaf) buang air besar. Dia bilang, saya suka membaca. Jadi, dim anapun dan kapanpun, membaca adalah bagian tidak terpisahkan dari tulis menulis.

Sekadar curhat lewat buku diary, memanfaatkan blog agar banyak yang mengunjungi kemudian ada yang berminat beriklan diblog kita. Setali tiga uang. Puas batin, puas juga di kantong.

Menulis tidak terikat dengan waktu dan tempat. Terserah kita, mau menulis kapan dan dimana, asal bisa memunculkan ide. Bahkan di kamar pun kita bisa bekerja.

Sebagai testimoni saja, Kang Abik, sapaan penulis buku Ayat-Ayat Cinta, Dalam Mihrab Cinta, dan beberapa karya yang lain mampu meraup untung tidak hanya jutaan rupiah, tetapi miliaran rupiah dari komisi tulisan yang diterbitkan. Andrea Hirata, yang membidani tetralogi Laskar Pelangi telah mengubah hidupnya yang tidak hanya dikenal publik dari karyanya, tetapi juga telah mengangkat kembali oase pendidikan di daerah terpencil di Belitong yang ia kisahkan dengan apik.

Artinya profesi menulis tidak hanya menjanjikan melimpahnya materi, tetapi jejak kehidupan di mata masyarakat juga akan berbeda. Tetapi apakah menulis memang bertujuan mencari fulus? Jika kita sebagai pendidik, jangan sekali pun mengatakan pada siswa kita bahwa menulis untuk mencari uang, tetapi menulis untuk membuka tabir kebenaran. Dengan begitu pada saatnya anak tidak pamrih. Tetapi tanamkan, menulislah untuk membuka kebenaran, maka keberanaran dari tulisan akan memberi uang banyak.

Saat ini, peserta didik di beberapa sekolah, baik di kota maupun di desa tidak lagi berhasrat dengan dunia tulis menulis. Kalau pun ada hanya sedikit sekali. Bagaimana untuk menumbuhkan cinta menulis pada peserta didik?

Pelajaran mengarang sangat ampuh dijadikan solusi untuk mengurai kembali hasrat siswa tumbuh menjadi penulis hebat. Pasalnya pelajaran mengarang seolah menghilang. Siswa sekarang lebih hafal keypad handphone ketimbang huruf dalam keyboard. Diposting oleh BUDI.ES.

Dirjen Dikdas :Jangan Paksakan Lulus 100 Persen

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Suyanto mengingatkan agar pihak sekolah tidak memaksakan diri untuk mmencapai kelulusan Ujian Nasional 100 persen.
Sekolah diharapkan tidak menekan siswanya dengan berbagai cara agar mencapai target kelulusan, meskipun provinsi mempunyai hak 75 persen dalam ujian ini. "Hal ini sangat disesalkan," kata Suyanto. Jika hal ini dipaksakan maka tingkat kelulusan yang diperoleh daerah terseut hanyalah menjadi sesuatu yang palsu.

Bila nilai anak tersebut tidak sesuai dengan kemampuannya, hal tersebut akan mempersulit si anak dalam beradaptasi dengan pelajaran di sekolahnya yang baru (SMP). Maka Suyanto berharap agar kelulusan tersebut jangan dipaksakan. "Tidak ada salahnya mereka mengulang,"

Suyanto menjelaskan, walaupun di patokan kelulusan di sekolah berbeda-beda, ia menilai hal itu merupakan indepensi sekolah. Ada sekolah yang mematok angka 6, 8, bahkan 9. Dan meskipun namanya ujian nasional, kewenangan terbesar untuk tentukan kelulusan siswa adalah provinsi. "Itu otonomi," tuturnya

Suyanto mengatakan melakukan sidak ke Bangkalan dan tidak menemukan adanya masalah dalam pelaksanaan UN. Kemungkinan pemerinta daerah mempunyai pengalaman di UN SMA dan SMP yang dimulai sejak pertengahan Mei lalu. Berpedoman pada kesalahan yang lalu, kesalahan teknis pelaksanaan UN dapat diantisipasi.

Guru PTT-GTT Tolak Kontrak atau Outsourching

Guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) yang tergabung dalam Dewan Koordinasi Honorer se-Indonesia (DKHI) Kota Surabaya menolak pemanfaatan tenaga mereka sebagai outsourching. Mereka tetap ingin menjadi GTT dan PTT dengan harapan bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

"Kami menolak outsourching. Sebab pengalihan status guru GTT dan PTT ke outsourching hanya menghindarkan mereka dari pengangkatan PNS. Padahal status PNS sangat kami harapkan,"kata Ketua DKHI Kota Surabaya, Eko Mardiono, saat sebelum gelar doa bersama di Halaman gedung DPRD Kota Surabaya, Senin (2/5).

Menurut Eko, aksi yang dilakukan merupakan bentuk protes atas kebijakan pemerintah pusat maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang dinilai merugikan para GTT dan PTT. Selain, GTT dan PTT tidak akan diangkat jadi PNS ketentuan pemerintah agar guru PNS wajib mengajar minimal 24 jam sebulan, keberadaan ribuan GTT di Surabaya semakin tergeser.  Sebab, GTT yang sebelumnya mendapatkan jam mengajar antara 24-30 jam, kini hanya mendapatkan 10 jam mengajar. Karena jam mengajar lebih diprioritaskan untuk guru PNS. "Kami tergeser dengan adanya undang-undang pemerintah," katanya.

Padahal, menurut Eko, dari segi kemampuan dan pengalaman mengajar, para GTT sudah tidak diragukan lagi. Bahkan, ada GTT lebih mampu bila dibandingkan dengan guru PNS yang baru masuk di sebuah sekolah. Mengingat, rata-rata GTT sudah mempunyai jam kerja yang cukup lama, yakni antara 10 tahun.

"GTT di Surabaya yang sudah masuk data base sesuai Menpan No. 05/2010, keberadaannya tidak bisa digantikan dengan mudah oleh guru yang akan masuk. Termasuk guru PNS," tegasnya.
Sedangkan untuk PTT, keresahan mereka dipicu dengan adanya keputusan Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) nomor 800/4185/436.6.4/2011 tanggal 7 Maret 2011. Adapun inti surat edarannya, pemberlakuan tenaga outsourching baik ditingkat TK, SD, SMP dan SMA Negeri. "Menurut kami ketentuan itu menyalahi aturan. Perusahaan swasta saja menentang kontrak. Kenapa sekolah negeri justru memberlakukan sisten kontrak ?," ujarnya.

 Eko berpendapat, sistem outsourching yang diterapkan Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya justru akan menimbulkan permasalahan baru. Bukan hanya bisa menggeser para PTT yang sudah bekerja sekian tahun, system outsourching juga akan menimbulkan keresahan dipihak tenaga outsourching itu sendiri "Nanti bagaimana kalau kontraknya habis, pasti kami akan dibuang begitu saja dan ini pasti menimbulkan permasalahan baru," tandasnya.
Belum lagi kinerja para tenaga outsourching yang masih meragukan. Sebab, berdasarkan pengamatan di lapangan, tenaga outsourching yang rata-rata lulusan S1 hanya duduk- duduk. Tak jarang saat bekerja mereka minta bantuan dan petunjuk dari pegawai yang lebih lama bekerja. "Bisa dikatakan tenaga kontrak kurang bisa memenuhi kebutuhan," tambahnya.

Melihat kenyataan yang terjadi di lapangan, pihak DKHI Kota Surabaya berharap kepada pemerintah agar lebih memperhatikan dan mengutamakan GTT dan PTT. Termasuk saat pengangkatan PNS.  Kalaupun kinerja GTT dan PTT dinilai masih kurang, lanjutnya, pemerintah bisa meningkatkan kinerjanya dan tidak perlu mengambil tenaga dari luar. Pemkot cukup menambah intensif. Bahkan, cara ini bisa menjadi semangat kerja.  Adapun jumlah GTT di Surabaya mencapai 1.600 orang, dan PTT mencapai
800 orang. Mereka sudah masuk dalam data base. Sedangkan total seluruh GTT dan PTT yang sudah masuk data base maupun yang belum masuk data base mencapai 4.500 orang.
Sementara pihak DPRD Surabaya yang mendapat pengaduan dari para GTT dan PTT berjanji akan meneruskannya ke Dindik Kota Surabaya. "Outsourching tidak tepat. Nanti akan kita usulkan ke Dinas Pendidikan," ujar Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Baktiono.

Kepala Dispendik Surabaya Sahudi yang dihubungi lewat handphonenya oleh komisi D mengatakan, aturan pemerintah saat ini seperti itu. Bila, mengambil tenaga dari luar PNS harus berbentuk outsourching. Bila tidak dalam bentuk outsourching justru bisa dipersalahkan dan yang mengeluarkan anggaran atau gaji GTT dan PTT bisa berurusan dengan hukum. ( sumber surabaya post )

Lulus UN Seorang Siswi Telanjang Dada dan Sobek Rok


Astaga, Lulus UN Siswi di Pamekasan Telanjang Dada dan Sobek Rok
Konvoi Lulus UN/www.today.co.id/Busri Thaha

Pamekasan - Aksi corat-coret disertai konvoi dengan menggunakan kendaraan bermotor biasa dilakukan para siswa untuk merayakan kelulusan mereka setelah menjalani Ujian Nasional (UN). Namun, hal tidak pantas dilakukan seorang siswi di Kabupaten Pamekasan Jawa Timur saat tengah merayakan kelulusannya.
 
Di Jalan Raya Tlanakan Kabupaten Pamekasan, seorang siswi kedapatan bertelanjang dada. Meski ditutupi dengan kain, namun kain itu sangat tipis sehingga bagian dada si gadis tersebut terlihat begitu jelas.
 
Kenyataan tersebut ditemukan, salah satu anggota Komisi D DPRD Pamekasan, Juhaini. Bahkan, pihaknya mengaku langsung berusaha mengambil gambar siswi bertelanjang dada tersebut.
 
"Waktu saya mengambil gambar, siswi tersebut berusaha langsung menutupi wajah dan rambut bagian belakang agar tidak terekam kamera," kata Juhaini, kepada wartawan, Senin (16/05/2011). 
 
Pihaknya mengaku akan meneliti indentitas siswi tersebut dan siswa yang menggunakan kendaraan dinas, plat merah dalam berkonvoi. Jika pihaknya menemukan indentitas siswi bertelanjang dada tersebut, ia berjanji akan berkoordinasi dengan Disdik dan pihak sekolah agar ijazah siswi itu ditahan terlebih dahulu. 
 
"Kami akan memanggil Dinas Pendidikan (Disdik) dan Kantor Kementrian Agama (Kamenag) Pamekasan, karena dua lembaga tersebut yang mengatur para siswa," katanya.
 
Konvoi kelulusan Ujian Nasional di Pamekasan sendiri terpantau sangat meriah. Bahkan, dengan pengawalan aparat kepolisian setempat, para siswa memadati sejumlah protokol di Pamekasan. 
 
Pantauan www.today.co.id, Senin (16/05/2011), para siswa memadati jalan-jalan seperti di Jalan Kabupaten, Depan Kantor DPRD, depan Pemkab termasuk di depan rumah dinas Bupati Pamekasan, menjadi lahan empuk siswa berkomvoi.
 
Bahkan, ratusan siswa yang ikut konvoi, sebagian menggunakan kendaraan dinas berplat merah. Sedangkan para siswi, ada yang rela menyobek rok yang digunakan sebagai bentuk syukur atas kelulusannya. Selain itu, mereka tidak segan-segan merokok di depan siswa lain, diduga sebagai tanda mereka telah lulus. 
 
Sekedar diketahui, tingkat kelulusan siswa di Pamekasan mencapai 99.5 persen. Sebab, dari peserta UN SMA/MA dan SMK mencapai 9175 siswa, yang dinyatakan tidak lulus hanya sebanyak 33 siswa.
Sungguh memprihatinkan moral siswa saat sekarang ini. Tentu saja tidak semuanya. By Budi. ES.

Berhubungan Seks Pascalulus UN, Salah Kaprah

Salah kaprahnya para siswa dalam merayakan kelulusan Ujian Nasional (UN) 2011 dengan melakukan seks bebas, menurut psikologi, Dr Rose Mini A.P, MPsi, sudah melewati batas. Menurutnya, fenomena berhubungan seks dengan pasangan usai kelulusan diadopsi dari kebudayaan barat yakni Prom Nigth, tradisi merayakan kelulusan dengan pesta dan seks bebas.
 
 "Pemahaman tentang budaya kelulusan harus dijalankan dengan berhubungan seks dengan pasangannya, merupakan pemahaman yang salah. Itu budaya luar yang biasa disebut Prom Night. Pemahaman itu (tidak boleh berhubungan seks pascalulus) harus diberitahukan orangtua semenjak balita, bukan ketika sudah remaja," terangnya saat berbincang dengan www.today.co.id, di Jakarta, Rabu (18/5/2011).
 
Polemik pergaulan rusak tak terkontrol yang bermuara pada seks bebas di Indonesia memang sudah merambah dunia remaja. Seperti fakta meningkatnya penjualan kondom sehari sebelum pengumuman kelulusan UN di Kota Malang, Jawa Timur. Ironisnya, pembeli kondom bukan dari kalangan orang dewasa, melainkan dari para remaja yang diduga membeli untuk berhubungan seks sebagai perayaan kelulusan UN.
 
Fakta itu menjadi ironi di kebudayaan timur yang kental akan rasa malu dan larangan dalam adat istiadat. Untuk mencegahnya,  peran orangtua dalam memberikan pembelajaran mana yang salah dan benar mutlak dilakukan. Selain orangtua, katanya, peran guru dan sekolah dalam memberikan pendidikan moral harus sering dilakukan. "Untuk menghindari (berhubungan seks), sekolah juga harus membuat suatu acara setelah diumumkan hasil ujian nasional, seperti rekreasi atau semacamnya," katanya.
 
Namun, Dr. Rose menganjurkan yang harus disalahkan dan diberikan sanksi bukan hanya siswa yang membeli kondom untuk berhubungan seks, tetapi pada penjual alat kontrasepsi tersebut. Ia mencontohkan ketika seorang anak dibawah umur membeli bir atau minuman beralkohol, pemilik toko dilarang menjualnya.
 
"Banyak cara dalam memberikan solusi dan sanksi baik kepada siswa maupun penjual, tergantung bagaimana cara orangtua berpikir," tegasnya.
 
Sementara terkait kasus seorang siswi di Pamekasan yang merobek rok dan bertelanjang dada saat merayakan UN semari konvoi berkeliling kota menggunakan sepeda motor, menurutnya yang dilakukan siswa tersebut karena salah persepsi dan luapan kegembiraan yang berlebihan.
 
"Kemungkinan itu karena rasa bahagia yang berlebihan dari siswi-siswi dengan merobek roknya. Tetapi rasa berlebihan itu tidak wajar, harusnya mereka biasa saja dalam menanggapi kesenangan setelah tahu hasil UN," tandasnya. ( sumber Today. co.id ) diposting oleh BUDI.ES.

Pendidikan Integral Suatu Keharusan

Falsafah Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Bangun Karso, Tutwuri Handhayani membutuhkan keteladanan seluruh komponen pendidikan, terutama guru. Sebab guru adalah ikon untuk bisa digugu dan ditiru (dituruti kata-katanya dan dijadikan tauladan perilakunya). Oleh itu keteladanan guru merupakan suatu keharusan.

Sehingga tujuan pendidikan nasional: berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, dapat terwujud. Perwujudan tujuan itu tidak mungkin dapat tercapai jika integritas moral dan spiritual dalam proses pendidikan hanya merupakan sebuah slogan semata.

Sadarilah, bahwa tujuan pendidikan adalah mendidik akhlak, memberikan pembinaan agama dan dunia, memberikan sesuatu yang berguna, memberikan pengetahuan, dan memberikan keterampilan hidup (Falsafah al Tarbiyah al Islamiyah, Musthafa Athiyah, 1969). Hal tersebut sesuai pula dengan acuan operasional Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), bahwa: keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. ( Diporting oleh : Budi.ES. dari berbagai sumber )

Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang pembentukan iman, taqwa serta akhlak mulia. Pembentukan iman, taqwa serta akhlak mulia merupakan wujud pendidikan integral. Dan itu menuntut seluruh komponen pendidikan; baik guru, siswa, tenaga kependidikan, serta kurikulum yang mengarah pada perbaikan moral.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka ilmu pengetahuan harus diberikan secara utuh, tidak parsial, atau sekuler. Artinya anak didik tidak hanya diberi pengetahuan secara kognitif semata, namun disertai dengan kesadaran akan Tuhan-nya ~ranah afektif. Sehingga akan melahirkan pribadi yang beradab dalam ranah psikomotoriknya, jujur dan amanah. Sebab kejujuran dan rasa tanggungjawab itu merupakan pilar utama dalam membangun sebuah peradaban dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Untuk mengoptimalkan tujuan tersebut, maka guru harus memperbaiki diri lebih dahulu dan memberikan landasan spiritual pada setiap mata pelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Ketahuilah, spiritualitas itu tidak hanya milik pendidikan agama. Namun seluruh ilmu pengetahuan itu mengandung nilai-nilai spiritual juga. Kenapa? Karena pengetahuan itu bersumber dari sang Clausa Prima, al `Aliim, Yang Maha Mengetahui. Dengan landasan kesadaran berketuhanan atau kesadaran spiritual itu diharapkan output dan outcome peserta didik adalah manusia yang berakhlak mulia.

Pendidikan integral ini mendesak untuk implementasikan mengingat gelombang dekadensi moral semakin menggerogoti anak bangsa tercinta. Angkat sebuah misal, kasus Ver (17), PSK ABG itu Ranking 10 SMP Favorit di Surabaya, (Harian Surya, Minggu, 10 Oktober 2010). Atau, pengrebekan dua pelajar SMA yang melakukan adegan hot di sebuah Warnet di Kalijudan Surabaya baru-baru ini. Dan contoh mengenaskan lainnya, Geger Video Dua Anak SMP di Tulungagung (Harian Surya, Jumat, 7 Januari 2011).

Kasus-kasus tersebut dilakukan oleh anak-anak yang masih berstatus siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan atas (SMA). Sungguh hal tersebut merupakan tamparan bagi dunia pendidikan karena belum mampu menghasilkan anak didik yang bertanggungjawab. Hal tersebut merupakan akibat dari hilangnya kesadaran spiritual dalam pendidikan dan lemahnya kontrol serta peran masyarakat dalam menanamkan pendidikan moral.

Agar kasus-kasus seperti di atas tidak mewabah, maka pendidikan integral yang menyinergikan antara pengetahuan dan akhlak bagi anak didik mendesak untuk kita maksimalkan. Mengingat semua itu merupakan tanggungjawab kita bersama, maka seluruh komponen bangsa harus dilibatkan dalam proses pendidikan secara menyeluruh. Dengan harapan pada dekade yang akan datang kita bisa menatap masa depan yang lebih cemerlang dan memiliki berkepribadian utuh. Semoga kita -terutama para guru- mampu melahirkan pribadi yang bertanggung jawab sebagaimana amanah tujuan pendidikan nasional.

Guru Lempar Batu, Murid Demo Mundur

Sekitar 500 murid SMK 15 Bandung, Jawa Barat, mendemo tindak kekerasan yang dilakukan gurunya. Unjuk rasa dipicu oleh kekerasan guru terhadap salah satu siswa bernama Rommy Andrian, siswa kelas 10.

Menurut pengunjuk rasa, guru berinisial AA melempar batu hingga kepala Rommy terluka. Aksi tersebut dipusatkan di Lapangan SMK 15. Mereka menuntut AA mundur.

Dalam aksinya, para siswa SMK 15 berkumpul di lapangan sambil membawa sejumlah poster bertuliskan, "Lempar jumroh di Mekkah, bukan di Kantin", "When justice freedom, keluarkan AA", dan "Kami butuh pelajaran bukan penghajaran."

Akibat unjuk rasa, kegiatan belajar mengajar di SMK 15 sempat tersendat selama beberapa jam.

Rommy menuturkan, kejadian tersebut bermula saat Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Ketika para guru sedang melakukan rapat, Rommy bersama beberapa temannya pergi ke kantin. Namun, mereka dipergoki AA yang kemudian melemparkan batu bata hingga melukai kepala bagian belakangnya.

Kejadian itu, kata Rommy, sudah diketahui orangtuanya dan dinas pendidikan. Masalahnya juga sudah diselesaikan secara kekeluargaan. "Tapi teman-teman takut bapak kembali melakukan tindakan yang sama kepada mereka," kata Rommy, kepada kepada wartawan, Selasa (11/5/2011).

Guru AA memang terkenal galak di SMK 15, tidak jarang guru tersebut memberikan sanksi yang dianggap berlebihan terhadap muridnya yang melakukan kesalahan di lingkungan sekolah.

Kepala Sekolah SMK 15, Erna Ratnasih menyayangkan aksi yang dilakukan oleh para murid. Dia menilai, AA memang selalu menerapkan disiplin tinggi terhadap para siswanya.

Menurut Erna, bagi sekolah dengan jurusan perhotelan, masalah disiplin memang sangat ditekankan. "Yang bersangkutan memiliki perhatian dengan kedisiplinan, karena dalam dunia perhotelan, disiplin memang sangat diterapkan. Saya sangat menyayangkan aksi yang dilakukan anak-anak," katanya.

Erna menjelaskan kejadian yang terjadi minggu lalu itu ketidaksengajaan. Batu bata yang digunakan tidak dimaksud untuk dilemparkan langsung ke Rommy. "Dia melemparkan pecahan batu untuk mengejutkan anak-anak yang tengah bersembunyi, namun batu tersebut mengenai dinding dan akhirnya Rommy terkena lemparan," jelasnya.

Guru AA juga sudah meminta maaf secara pribadi kepada Rommy. Bahkan AA sudah mengundurkan diri. "Sebenarnya dia adalah guru yang ikut andil dalam membangun sekolah, pekerjaannya sangat bagus. Jika anak-anak ingin dia mundur, dengan berat hati saya menerimanya," katanya.

Menilai Siswa Tak Cukup Hanya dengan Tes

Sampai saat ini penilaian (assessment) belum berjalan secara optimal di dunia pendidikan. Penilaian terhadap siswa seharusnya digunakan untuk memberikan dukungan dan membantu siswa yang kesulitan belajar.

Demikian diungkapkan pakar pendidikan Itje Chodidjah di Jakarta, Senin (9/5/2011). Ia mengatakan, salah satu penyebabnya adalah dunia pendidikan Indonesia saat ini masih berpatokan bahwa keberhasilan siswa hanya ditentukan dengan ujian tertulis. Padahal, untuk mengetahui kemampuan dan permasalahan siswa dalam belajar harus dipraktikkan dalam assessment di sepanjang masa sekolah, bukan di akhir masa sekolah.

"Nilai yang dicapai dalam testing itu hanya sekadar angka 1 sampai 100. Namun, itu tidak merepresentasikan kemampuan yang dicapai siswa," ujar Itje kepada Kompas.com.

Itje mencontohkan dalam pelajaran bahasa. Menurut dia, kemampuan orang berbahasa harus dilihat dari beberapa proses, seperti ketika siswa menulis, membuat karangan kecil, lalu beberapa kali siswa mengubah konsep karangannya. Hal tersebut dilakukan agar kemampuan siswa dapat terpantau secara bertahap.

Itje pun mencontohkan seorang siswa yang mendapatkan nilai 75 dalam ujian tertulis dengan tipe pilihan ganda. "Siapa yang mampu menilai kemampuan anak tersebut? Apakah anak itu hanya dapat nilai 75 saja atau dia memang punya kepandaian khusus? Kalau kita lihat saat ini, tidak banyak siswa lulusan SMA yang bisa berbahasa Inggris lancar kalau dia tidak ikut kursus," papar Itje.

Selain itu, Itje menambahkan, kurikulum juga dapat menjadi salah satu penyebab. Ia menilai kurikulum saat ini perlu dibenahi dalam tata pelaksanaannya di lapangan agar tujuan dari assessment menjadi jelas.

Tata pelaksanaan di lapangan, lanjut Itje, misalnya, ketika pemerintah menyosialisasikan kurikulum terhadap guru-guru di berbagai daerah. Ia menilai sosialisasi kurikulum pada 2006 masih terdapat banyak kekurangan. Salah satunya adalah pelaksanaan yang sporadis sehingga ada guru yang tahu kurikulum tersebut, tetapi tak sedikit pula yang angkat bahu.

"Sporadis di sini dalam arti, misalnya, satu kabupaten dipanggil dua sampai tiga guru dalam sosialisasi tersebut. Namun, bagaimana dua atau tiga guru itu bisa menangani satu kabupaten? Tidak mungkin. Nah, seharusnya dapat dilakukan penataan, misalnya dengan klaster-klaster dalam sosialisasinya," kata Itje.

Terus didengungkan

Itje mengatakan, saat ini assessment harus terus didengungkan. Hal itu agar proses pembelajaran tidak lagi dalam bentuk tes tertulis untuk mengukur kemampuan siswa.

Para guru juga perlu diberikan pemahaman dan pelatihan agar pelaksanaan assessment menjadi jelas. Pasalnya, menurut Itje, sebesar apa pun pemerintah ingin menjalankan assessment, jika guru-guru tidak memiliki pemahaman yang baik, proses tersebut akan menjadi sia-sia.

"Paradigma guru juga perlu diubah karena biasanya saat ini guru tidak sreg kalau tidak ada testing," tutup Itje. 

Kemdiknas Akan Ganti Buku Cetak dengan Komputer Tablet



Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) akan mengembangkan komputer tablet yang berisi materi pelajaran. Komputer tablet ini nantinya akan menggantikan buku cetak pelajaran yang selama ini digunakan oleh siswa sekolah.

"Komputer tablet ini akan digunakan sebagai bagian utama dalam sistem pelajaran," ujar Mendiknas M Nuh di kantor Kemendiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (2/5/2011).

Nuh mengatakan buku yang berbentuk cetak hanya akan menjadi penunjang komputer tablet tersebut. Sehingga para siswa tidak perlu lagi membawa buku yang banyak dan berat ke sekolah.

"Itu yang membuat mereka kecapekan," ungkapnya.

Kemendiknas dalam hal ini bekerjasama dengan Microsoft Indonesia dan Intel Indonesia. Sayangnya Nuh tidak menjelaskan kapan komputer tablet ini mulai diluncurkan. Nuh juga tidak sempat menjelaskan mengenai komputer tablet ini apakah akan dibagikan kepada setiap siswa atau mereka harus membeli.

Sementara itu Direktur Utama Microsoft Indonesia Sutanto Hartono mengatakan kerjasama tersebut bertujuan untuk meningkatkan metode pengajaran para guru. Dengan program ini diharapkan guru dan tenaga pengajar akan siap menggunakan metode belajar mengajar abad ke 21.

"Selain itu juga dapat meningkatkan performa dalam hal e-learning," jelas Sutanto.

Sutanto menjelaskan Microsoft berkomitmen untuk memberikan dukungan piranti lunak yang dapat diunduh secara gratis dalam rangka proses akademik yang akhirnya akan mendukung karir para siswa di masa mendatang. Microsoft mendukung terus dunia pendidikan Indonesia dalam menyongsong era pendidikan era abad 21.

"Soal harga akan dibicarakan lebih lanjut," ujarnya.

Manager Humas Intel Indonesia Corporation Dhyoti R. Basuki mengungkapkan hal serupa. Kerjasama ini merupakan pemanfaatan program dengan tujuan mendukung pilar-pilar kebijakan pendidikan di Kemendiknas.

"Dalam pelaksanaan kerjasama ini, Intel akan memperkuat inisiatif pendidikan di Indonesia. Bertujuan untuk memperluas konektivitas pendidikan berbasis TIK (Teknologi Informasi Komunikasi) dan pengembangan konten. Kerjasama ini diharapkan membantu para guru dalam proses pengajaran sehingga menghasilkan metode belajar yang efektif sehingga akan mendorong kreativitas dan inovasi para siswa," jelasnya.

UN 2011 dari Kacamata Seorang Siswa

UJIAN Nasional (UN) yang dilaksanakan oleh Kemendiknas dari tanggal 18-21 April 2011 dalam pelaksanaannya bisa dinilai cukup baik. Dimana UN kali ini dilaksanakan dengan tetap mendengar aspirasi dari berbagai pihak.

Seperti nilai kelulusan tak lagi mutlak berdasarkan hasil pelaksanaan UN semata. Tapi juga memperhatikan nilai-nilai siswa di sekolah. Sehingga tekanan mental siswa maupun guru juga berkurang dalam menghadapi UN ini.

Lalu, pelaksanaannya yang memakai sistem lima paket juga mendukung agar tidak terjadinya kebocoran kunci jawaban yang selama ini sering terjadi. Pengaduan yang didapat di posko UN pun berkurang dari tahun sebelumnya yang terdapat 800 lebih pengaduan menjadi hanya 105 pengaduan