Kamis, 19 Mei 2011

Guru PTT-GTT Tolak Kontrak atau Outsourching

Guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) yang tergabung dalam Dewan Koordinasi Honorer se-Indonesia (DKHI) Kota Surabaya menolak pemanfaatan tenaga mereka sebagai outsourching. Mereka tetap ingin menjadi GTT dan PTT dengan harapan bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

"Kami menolak outsourching. Sebab pengalihan status guru GTT dan PTT ke outsourching hanya menghindarkan mereka dari pengangkatan PNS. Padahal status PNS sangat kami harapkan,"kata Ketua DKHI Kota Surabaya, Eko Mardiono, saat sebelum gelar doa bersama di Halaman gedung DPRD Kota Surabaya, Senin (2/5).

Menurut Eko, aksi yang dilakukan merupakan bentuk protes atas kebijakan pemerintah pusat maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang dinilai merugikan para GTT dan PTT. Selain, GTT dan PTT tidak akan diangkat jadi PNS ketentuan pemerintah agar guru PNS wajib mengajar minimal 24 jam sebulan, keberadaan ribuan GTT di Surabaya semakin tergeser.  Sebab, GTT yang sebelumnya mendapatkan jam mengajar antara 24-30 jam, kini hanya mendapatkan 10 jam mengajar. Karena jam mengajar lebih diprioritaskan untuk guru PNS. "Kami tergeser dengan adanya undang-undang pemerintah," katanya.

Padahal, menurut Eko, dari segi kemampuan dan pengalaman mengajar, para GTT sudah tidak diragukan lagi. Bahkan, ada GTT lebih mampu bila dibandingkan dengan guru PNS yang baru masuk di sebuah sekolah. Mengingat, rata-rata GTT sudah mempunyai jam kerja yang cukup lama, yakni antara 10 tahun.

"GTT di Surabaya yang sudah masuk data base sesuai Menpan No. 05/2010, keberadaannya tidak bisa digantikan dengan mudah oleh guru yang akan masuk. Termasuk guru PNS," tegasnya.
Sedangkan untuk PTT, keresahan mereka dipicu dengan adanya keputusan Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) nomor 800/4185/436.6.4/2011 tanggal 7 Maret 2011. Adapun inti surat edarannya, pemberlakuan tenaga outsourching baik ditingkat TK, SD, SMP dan SMA Negeri. "Menurut kami ketentuan itu menyalahi aturan. Perusahaan swasta saja menentang kontrak. Kenapa sekolah negeri justru memberlakukan sisten kontrak ?," ujarnya.

 Eko berpendapat, sistem outsourching yang diterapkan Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya justru akan menimbulkan permasalahan baru. Bukan hanya bisa menggeser para PTT yang sudah bekerja sekian tahun, system outsourching juga akan menimbulkan keresahan dipihak tenaga outsourching itu sendiri "Nanti bagaimana kalau kontraknya habis, pasti kami akan dibuang begitu saja dan ini pasti menimbulkan permasalahan baru," tandasnya.
Belum lagi kinerja para tenaga outsourching yang masih meragukan. Sebab, berdasarkan pengamatan di lapangan, tenaga outsourching yang rata-rata lulusan S1 hanya duduk- duduk. Tak jarang saat bekerja mereka minta bantuan dan petunjuk dari pegawai yang lebih lama bekerja. "Bisa dikatakan tenaga kontrak kurang bisa memenuhi kebutuhan," tambahnya.

Melihat kenyataan yang terjadi di lapangan, pihak DKHI Kota Surabaya berharap kepada pemerintah agar lebih memperhatikan dan mengutamakan GTT dan PTT. Termasuk saat pengangkatan PNS.  Kalaupun kinerja GTT dan PTT dinilai masih kurang, lanjutnya, pemerintah bisa meningkatkan kinerjanya dan tidak perlu mengambil tenaga dari luar. Pemkot cukup menambah intensif. Bahkan, cara ini bisa menjadi semangat kerja.  Adapun jumlah GTT di Surabaya mencapai 1.600 orang, dan PTT mencapai
800 orang. Mereka sudah masuk dalam data base. Sedangkan total seluruh GTT dan PTT yang sudah masuk data base maupun yang belum masuk data base mencapai 4.500 orang.
Sementara pihak DPRD Surabaya yang mendapat pengaduan dari para GTT dan PTT berjanji akan meneruskannya ke Dindik Kota Surabaya. "Outsourching tidak tepat. Nanti akan kita usulkan ke Dinas Pendidikan," ujar Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Baktiono.

Kepala Dispendik Surabaya Sahudi yang dihubungi lewat handphonenya oleh komisi D mengatakan, aturan pemerintah saat ini seperti itu. Bila, mengambil tenaga dari luar PNS harus berbentuk outsourching. Bila tidak dalam bentuk outsourching justru bisa dipersalahkan dan yang mengeluarkan anggaran atau gaji GTT dan PTT bisa berurusan dengan hukum. ( sumber surabaya post )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar